Thursday, 3 January 2013

Tokoh-Tokoh Yahudi Yang Merosakan Pemikiran (Part 1)


Oleh:Alive (Alif Wahab)
  Suatu ketika dalam perbincangan di pejabat Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS).DR. Adian Husaini yang merupakan seorang cendekiawan muslim Indonesia menceritakan lawatannya selama 22 hari di Negara Britain. Ia menjelaskan bagaimana perkembangan liberalisme dan ilmu-pengaetahuan di Negeri Puteri Diana tersebut. Namun yang menarik adalah ketika beliau sampai pada pengalaman bertemu dengan warga Yahudi dan Sinagog-sinagog yang ada disana.

  DR. Adian menceritakan bagaimana orang Yahudi begitu serius mengkaji tentang pemikiran manusia. Mereka rela duduk puluhan jam di perpustakaan hanya untuk belajar ilmu pengetahuan. Mereka makan di perpustakaan , minum di perpustakaan, dan mandi pun juga disana. Begitu cerita dari DR. Adian itu sendiri

  .Jika kita meneliti lebih jauh serta lebih mendalam, sebenarnya kecintaan Yahudi terhadap ilmu menjadi suatu kewajipan dalam diri mereka. Fakta memperlihatkan bahwa Yahudi adalah bangsa minoriti -dan memiliki sejarah yang gelap  membuat mereka tidak dapat melakukan banyak perkara selain mempertahankan diri mereka. Dimulakan dengan memperbanyakan keturunan, bergerak dalam bidang ekonomi, sampai pada satu tahap melemahkan pemikiran kelompok-kelompok di sekitar mereka. Namun cara itu tidak akan dapat dilakukan tanpa proses internalisasi ajaran Yahudi yang betul-betul menyatu terhadap generasi serta keturunan mereka.
  
  Proses internalisasi itu setidaknya dimulakan dari bagaimana mereka mempelajari kitab-kitab Yahudi seperti taurat, talmud, mishnah, siddur, dan sebagainya. Tiap hari-khususnya hari sabtu- mereka akan "menyibukkan" diri mereka membaca teks-teks Yahudi. Pendidikan ini biasanya dipimpin oleh seorang rabbi yang sudah menguasai teologi Yahudi secara baik dan memahaminya dengan betul.

  Satu hal penting untuk dikuasai Yahudi adalah bahasa. Rahel Halabe, seorang guru pendidikan Bahasa Ibrani yang terkenal di kalangan Yahudi pernah menulis sebuah buku pengantar bahasa Ibrani berjudul “The Introduction to Biblical Hebrew the Practical Way“. Menariknya,jurusan pendidikan oleh Halabe adalah jurusan Sastra dan Bahasa Arab di Hebrew University, Israel.

  Dalam penulisannya, Halabe menjelaskan betapa pentingnya penguasaan bahasa Ibrani bagi seorang anak Yahudi. Halabe mengulas lagi, bahasa Ibrani bagi seorang anak Yahudi, bukan sahaja semata-mata menjadi tuntutan teologis tapi bahasa Ibrani juga memperlihatkan kultur atau budaya yang menjadi suatu jiwa yang tidak dapat dipisahkan dari identiti seorang Yahudi. Halabe kemudian mendelegasikan tulisan Ibrani modern dalam cara pendidikannya. Hal ini tidak saja untuk memudahkan jalan mereka menguasai percakapan bahasa Ibrani dan literatur moden Ibrani, tetapi juga untuk mendukung pelajaran yang dipelajari mereka tentang teks-teks teologi klasik Yahudi seperti Siddur dan Mishnah.

  “Introducing young students to modern Hebrew literature will not only ease their way into Hebrew conversation and modern Hebrew literature, but will support their study of the classical texts: Bible, Siddur, Mishnah and more. In fact, studying classical Hebrew will, in its turn, support the learning of modern Hebrew, which draws so much from its layered linguistic traditions,” jelasnya.

  Akhirnya setelah semua proses itu telah dipelajari, orang2 Yahudi tersebut akan memetik hasilnya. Hasil itu adalah berbentuk suatu generasi dewasa Yahudi yang terpelajar sekaligus menghargai warisan dan budaya mereka. Ya, bukan budaya dari bangsa-bangsa lain.

  “In fact, studying classical Hebrew will, in its turn, support the learning of modern Hebrew, which draws so much from its layered linguistic traditions. A rich program offering both past and present will help produce educated adult Jews who are well-read and appreciative of their heritage and culture.”

  Dan ketika orang-orang Yahudi betul-betul menguasai konsep ajaran agamanya, barulah mereka akan lebih serius “menjajah” ajaran agama lain. Hal ini betul-betul terjadi tak lama setelah Yahudi berhasil melakukan invasi ke atas negara Palestine dan kemudian melahirkan Israel sebagai negara mereka yang baharu.

  Salah satu contoh khusus untuk mewakili kajian ini adalah dengan berdirinya Arabic and Islamic Studies di Hebrew University of Jerusalem atau dapat diringkaskan sebagai Jurusan Pengajian Islam dan Arab. Dalam bukunya Belajar Islam Dari Yahudi, Herry Nurdi mengatakan bahwa Kajian Islam di Hebrew University sendiri digagas bersamaan dengan keberkesanan zionisme merampas tanah Palestine. Mereka menilai cara menguasai Palestine sebagai representasi islam dengan mengenali agama orang Palestine itu sendiri, yakni agama Islam.

  Dapat dikatakan, Kajian tentang Islam dan Arab sendiri adalah salah satu kajian tertua di Hebrew University of Jerusalem yang mulanya bernama the School of oriental studies. Namun meski didirikan hanya oleh lima orang Yahudi, jurusan ini kemudian berkembang menjadi jurusan terkenal di kampus tersebut. Dan kini tercatat sudah memiliki 32 Profesor dalam bidang Sastra Arab beserta Sejarah Peradaban Islam.

 Dan dari Universiti tertua di Israel inilah lahir para cendekiawan-cendekiawan Yahudi yang mempromosikan ajaran liberalisme dan bertindak sebagai orientalisme yang seiring dengan misi kolonialisme, yakni menjajah adama Allah.

  

Apakah setiap datang kepadamu seorang rasul membawa sesuatu (pelajaran) yang tidak sesuai dengan keinginanmu lalu kamu angkuh; maka beberapa orang (di antara mereka) kamu dustakan dan beberapa orang (yang lain) kamu bunuh? [QS al-Baqarah (2): 87]

  KEBENCIAN kaum Yahudi Zionist Laknatullah terhadap umat Islam selalu menjadi sebuah perbincangan serius di dalam Al Qur’an. Allah berkali-kali menjelaskan sifat kaum ini yang sungguh tidak rela ketika Islam menjadi agama yang benar. Salah satu misi tersebut kini banyak dpelopori oleh para orientalis Yahudi. Salahsatunya adalah Abraham Geiger (1810-1874).

Boleh saya katakan Geiger merupakan manusia yang pertama  mengatakan Al Qur’an dipengaruhi agama Yahudi. Anda tahu apa judul penulisannya hingga memenangi pertandingan masuk Universiti Bonn pada tahun 1832??? Sangat provokatif tajuk penulisannya, yakni “Apa Yang Diambil Muhammad Dari Yahudi”. Penulisan yang dibuat Geiger akhirnya dipilih oleh Professor Georg B. F. Freytag dari Fakulti Oriental Studies, Universi­ti Bonn. Hasilnya, Geiger menang dan mendapat hadiah dari hasil tulisannya. Padahal, saat itu usianya baru 22 tahun.

  Setahun kemudian penulisan tersebut yang dikarang Geiger lantas diterbitkan  dengan judul “Was hat Mohammed aus dem Judenthume aufgenommen?”. Seperti dikuti dari buku Adnin Armas, Metodeologi Bibel dalam Pengajian al- Qur’an, (dalam tulisannya) Geiger menuding kosa kata Ibrani memiliki pengaruh signifikan. Geiger mengutip sebahagian ayat-ayat dalam Al Qur’an yang mirip dengan Ibrani seperti Tabut, Taurat, Jannatu ‘And, Jahannam, Ahbar, darasa, Rabani, Sabt, Thaghut, Furqan, Ma’un, Mathani, Malakut. Geiger juga berpendapat Qur’an  terpengaruh ketika mengemukakan, (a) hal-hal yang menyangkut keimanan dan gaya kehidupan (b) peraturan-peraturan hukum dan moral dan (c) pandangan tentang kehidupan. Selain itu, Geiger berpendapat cerita-cerita yang ada di dalam Al Qur’an pun tidak lepas dari agama Yahudi.

 Senada dengan Geiger, seorang Yahudi yang bernama Joseph Horovitz juga menulis dua buah tulisan untuk menyatakan perkaitan Bahasa Yahudi dibalik Qur’an, yakni sebuah buku berjudul Das koranische Untersuchungen (1923) dan sebuah artikel bertuliskan Jewish Proper Names and Derivatives in the Koran (1925).

  Pandangan Geiger ini kemudian diikuti oleh banyak sarjana lainnya, seperti Günther Luling dan Christoph Luxemberg. Karya terbaru yang menghimpun beberapa hasil kajian historis-kritikan ala Geiger ini adalah buku yang diedit oleh Tilman Nagel, iaitu Der Koran und sein religiöses und kulturelles Umfeld (2010).

  Pesanan yang ingin disampaikan adalah bahwa Qur’an bukanlah sebuah kitab yang suci dan mengatakan bahwa pada dasarnya Nabi Muhammad bukanlah seorang yang ummi (tidak mampu membaca serta menulis ). Pandangan ini banyak ditekankan oleh Geiger.

  Hartwig Hirschfeld (1854-1934), seorang Yahudi Jerman kelahiran Russia, juga memfokuskan betapa pentingnya melacak kosa kata asing (Fremdworter) Al-Qur’an. Hirschfeld, yang telah mendapat gelaran doktor ketika berusia 24 tahun juga telah menulis sebuah penulisan dengan judul Judische Elemente im Koran. Ein Beitrag zur Koranforschung, Berlin 1878 (Elemen-elemen Yahudi dalam Al-Qur’an. Sebuah Sumbangan untuk Penelitian Al-Qur’an). Setelah lapan tahun kemudian, Hirshfeld menulis Beitrage zur Erklarung des Koran, Leipzig 1886 (Sumbangan untuk Tafsir Al-Qur’an). Ia juga menulis New Researches into the Composition and Exegesis of the Qoran, London, 1901 (Penelitian-penelitian Baru dalam Penulisan dan Tafsir Al-Qur’an).

  Menurut Hirshfeld, Muhammad mampu membaca dan menu­lis. Dalam pandangan Hirshfeld, Muhammad mengetahui aksara Ibrani tatkala berkunjung ke Syiria. Selain itu, fakta menunjukkan Muhammad mampu menulis ketika di Madinah. Sukar dipercayai, tegas Hirshfeld, jika Muhammad tidak bisa menulis ketika ia berusia 50 tahun keatas. Selain itu, Hirshfeld berpendapat banyak kesilapan nama-nama dan kata-kata yang di­ungkapkan di dalam Al-Qur’an menunjukkan Muhammad silap membaca catatan-catatannya yang dibuat dengan tangan yang tidak memiliki skill dalam penulisan  (The disfigurement of many Biblical names and words mentioned in the Qur’an is due to misrea­dings in his own notes made with unskillful hand).
 
  Pernyataan Geiger, Horovitz dan Hirschfeld sudah awal-awal telah dipatahkan Al Qur’an itu sendiri. Allah SWT dalam surat Al Fushilat ayat 44 berfirman,  “Dan jika Kami jadikan Al Qur’an itu suatu bacaan dalam selain bahasa Arab tentulah mereka mengatakan: “Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?”.  Apakah (patut Al Qur’an) dalam bahasa asing, sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: “Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qur’an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.”
 
  Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan bahwa Al Qur’an diturunkan dalam bahasa Arab kerana ia  adalah bahasa yang paling mudah, jelas, dan luas maknanya lebih tepat serta sesuai untuk jiwa manusia. Oleh kerana itu, kitab yang paling mulia (yakni Al-Qur’an) diturunkan kepada Rasul yang paling mulia (iaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam) dengan bahasa yang paling mulia (yaitu bahasa arab), melalui perantara malaikat yang paling mulia (iaitu malaikat Jibril), ditambah kitab ini pun diturunkan pada tempat yang paling mulia di atas muka bumi Allah ini (yakni tanah Arab), serta masa dan tarikh diturunkanya pun pada bulan yang paling mulia (iaitu Ramadhan), sehingga Al-Qur’an menjadi sebuah kitab dan rujukan sempurna dari segala sisi kehidupan.

  
Al-Quran Yang Menjadi Petunjuk Umat Manusia

  Abu Ubayd menjelaskan sekalipun asal usul kosakata Qur’an bersinggungan dengan bahasa Asing, tidak semestinya bahwa Al Qur’an itu berasal dari bahasa lain, kerana kosakata asing tersebut sudah diarabkan dan memiliki makna tersendiri. Allah, dalam konsep pra-Islam, berbeza dengan Allah dalam konteks agama Islam. “Ini disebabkan Islam membawa makna baru. Islam telah meluruskan, mengIslamkan ajaran yang salah dari jahiliyah, agama Yahudi dan Kristian,” tegas Prof Mohd Nor Wan Daud dalam bukunya The Educational Philosophy.

 
 Hal yang sama juga disuarakan oleh Syed Naquib Al Attas. Dalam bukunya, The Concept Education in Islam, pendekar Ilmu dari Melayu ini mengatakan bahwa Islamisasi yang dilakukan Rasulullah SAW dengan tanda turunnya wahyu menjadikan bahasa sebagai media yang sangat penting. Bahwa hal pertama yang dilakukan al-Qur’an adalah merombak struktur semantik konsep-konsep kunci dalam bahasa Arab Pra Islam dan memberinya makna baru seperti kata Allah, Haji, maupun nikah. Itulah yang membezakan Al Qur’an dengan kitab2 suci lain.

  Seperti juga yang dikatakan Sayyid Quthb  dalam bukunya yang berjudul Indahnya Al Qur’an Berkisah,
menjelaskan mengapa sebagai sebuah kitab suci, al-Qur’an dapat melumpuhkan bangsa Arab. Pakar sastra ini berkesimpulan rupanya al-Qur’an tidak saja kaya dengan susunan redaksinya, tapi juga mengikat beberapa ayat dengan unsur tasyri (penetapan hukum) yang dirasa adil, detail, dan amat tepat untuk digunakan dalam setiap zaman. Yang ini tidak akan mungkin mencuba diselaraskan dalam konteks bahasa Ibrani dengan menjadikan agama Yahudi sebagai induknya. Kesimpulannya, tuduhan dari Geiger, Horovitz dan Hirshfeld bahwa Al Qur’an menciplak kata-kata dalam Yahudi telah gugur dengan sendirinya.

No comments:

Post a Comment